Senin, 04 April 2016

Pulau Pari, Mestakung!!!

“Mestakung men, semesta mendukung, tenang aja!!” seru Sutan pas waktu udah menunjukkan pukul tujuh ketika kereta yang akan kami naiki ke stasiun angke baru sampai di tanah abang. Banyak banget cobaan mungkin yang harus kami lewati sebelum kami akhirnya berada di stasiun itu dari mulai rencana akan berangkat ber-sembilan akhirnya pupus menjadi ber-lima ditambah satu orang cewek yang juga ikut karena diajak langsung oleh si frisa, ryan yang meninggalkan komitmennya untuk bangun jam empat yang akhirnya menegakkan tubuhnya jam setengah lima dan juga kereta awal yang selalu tak sesuai jadwal serta kereta paling awal di tanah abang yang dengan indahnya meninggalkan kami tepat di pelupuk mata. Was was selalu ada karena jadwal berangkat kapal ke pulau pari adalah jam 7 pagi sedangkan kami masih ada di tanah abang yang jaraknya dua stasiun dan dua kali angkot dari pelabuhan muara angke. Entah apa jadinya jika tak ada kapal lagi dan kami harus menunggu hingga jam satu siang.

Tepat pukul setengah delapan lebih sedikit kami baru turun dari angkot dan sudah disambut oleh bau amis tak menyenangkan dari pelabuhan itu. Kami bergegas ke dalam dan akhirnya menemukan perahu yang akan berlabuh di pulau pari. Bukan Cuma satu tapi TIGA!! Dan itu jam SETENGAH DELAPAN LEBIH!! Bukan jam TUJUH!! Ternyata semesta benar-benar mendukung kami untuk pergi ke pulau pari.

Kapal pun berangkat lima belas menit kemudian dan akhirnya gue lega karena berpisah dengan bau amis busuk yang ada di pelabuah itu. Terlihat frisa, monik,geza dan ryan asik bercanda dibelakangku dan sutan sudah berada di dalam mimpinya sendiri dengan menyenderkan badannya di tiang tengah kapal. Beberapa saat kemudian sudah terlihat beberapa gugus pulau-pulau imut dari kepulauan seribu yang tak mau kalah dengan deretan beberapa cewek-cewek imut yang berada di kapal itu.

Sekitar satu setengah jam kami terombang ambing akhirnya kapal bersandar di dermaga pulau pari. Sempat takjub karena pemandangan indah yang kami dapat menghilangkan rasa was-was akan ketinggalan kapal yang pertama kami rasakan di atas angkot. Setelah sarapan sebuah roti yang sudah disiapkan oleh frisa demi menekan budget yang ada akhirnya kami menuju virgin beach. Ya, pantai perawan. Disanalah kami akan membangun dua tenda mewah untuk bermalam. Membayar sekitar sepuluh ribu per orang akhirnya kami sudah berada di dalam kawasan pantai perawan dan sesegera mungkin mencari spot untuk berkemah.

harapan
kenyataan
Sekitar jam setengah satu setelah sholat duhur kami pergi ke dermaga untuk bersiap-siap snorkeling. Karena kami hanya berenam akhirnya kami dicampur dengan rombongan lain yang ber dua belas. Lumayan lah menekan biaya sewa kapal. Kami akhirnya menuju ke laut. Spot pertama di pulau Tikus pupus karena ombak yang besar sehingga kami langsung berada di spot ke dua. Berada di tengah laut lepas dengan gue yang baru pertama kali snorkeling dan juga gak bisa berenang membuat tubuh enggan mau meloncat bahagia ke air laut meskipun sudah ada pelampung yang siap mengambangkan diri. Akhirnya dengan sekuat tenaga dan dukungan dari air laut yang seakan memanggil-manggil akhirnya gue terjun ke laut dan....bluupp bluup bluuupp. 

siap-siap buat snorkeling
“gue mati nih, mati nih mati” dalam hati setelah banyak menghirup dan menelan air asin karena panik yang berlebihan dan dengan gerakanyang bisa dianggap lebay. 

Akhirnya gue bisa sedikit-sedikit tenang  dan mencoba meniru gaya semua anak yang sudah asik mencelupkan mukanya ke dalam air. Gue coba untuk menirunya dengan napas yang masih dihirup dari hidung. Seketika itu air masuk dan gue panik. Mencoba lagi dan akhirnya bisa menghirup udara lewat mulut meskipun masih ada air laut yang masuk ke dalam lubang nafas mulut dan gue panik (lagi). Bisa dianggap snorkeling awal gue diisi dengan kepanikan yang gak jelas. Tapi untungnya masih bisa melihat terumbu karang yang masih alami dan ikan-ikan yang bercorak indah. 

udah nyebur
Satu jam kemudian kami beralih ke spot yang terakhir. Spot yang berada di dekat pulau pari itu sendiri. Belum terjun kami sudah disambut oleh terumbu karang yang sudah bisa dilihat dari atas kapal. Dan gue akhirnya bisa terjun ke laut dengan indahnya. Ya tanpa ada kepanikan akan asinnya air laut yang masuk ke lubang-lubang muka ini. Sayang menurut gue, terumbu karang di spot ini sudah rusak. Mungkin karena banyak terinjak oleh para snorkeler-snorkeler yang gak bertanggung jawab berdiri di atas terumbu karang ini *Lima menit kemudian gue berdiri di terumbu karang dengan indahnya disamping monik*. Akhirnya snorkeling kami sukses dan selamat sampai dermaga dengan diiringi bakso ikan hangat yang dengan berat hati kami beli karena kelaparan.

sun set
Kamipun kembali ke pantai perawan dan mencoba bermain air disana. Air asin hangat dan pasir yang aneh didalam air itu menyambut kedatangan kami. Sembari mencoba mencari kepiting kecil kami bermain air hingga matahari sudah ingin istirahat untuk menerangi kami. Sun set dengan keadaan sedikit mendung membuat kami sedikit kecewa, namun bagaimana lagi, setidaknya pulau ini bisa dikatakan INDAH.
pantai perawan

Malamnya kami hanya bercengkrama, bermain jempol-jempolan dengan hukuman diberi pertanyaan yang sangat amat penting dan rahasia ngalahin data FBI, dan juga negdengerin suara sumbang om-om dan tante-tante yang lagi karaokean dengan speaker besar di dekat kami. Sempat merasa menjadi artis semalam setelah frisa mengajak gue ikut karaokean barenga tante dan om-om itu. Ya meskipun cuma tiga lagu galau Kerispatih. Serasa gue jadi sammy pas itu. *senyum senyum muka mesum*

 Hari udah mulai beranjak pagi. Sun rise tak terlihat karena lagi-lagi dihalangi oleh mendung. Setelah semua terbangun kami mencoba mencari sarapan. Sebuah nasi uduk seharga tiga ribu rupiah. Ya itu iming-iming manis dari si geza di pagi kami. Bukannya nasi uduk yang kami temui malah ketoprak denga isi lontong dan bihun yang jika dimakan terlalu lama akan meningkatkan tingkat kejenuhan yang tinggi. Ya klo menurut monik sih “aku lapar, tapi kenyang”.

Setelah puas dengan kejenuhan lontong dan bihun kami langsung kembali ke pantai perawan dan menyewa dua sampan sedang yang akan membawa kami berkeliling ke lautan dangkal di sekitaran pantai itu. Dalam perjalanan kami mencoba mengintrogasi kapten sampan kami yang sudah berumur sekitar 75 tahun. Ya “sekitar”. Karena bapaknya juga gak ngerti berapa umurnya saat ini. 
pas naik sampan

Setelah puas dengan sampan akhirnya kami mencoba menelusuri panjang pantai ini. Setelah menemukan spot yang kami anggap enak akhirnya kami menghabisakan waktu disana dengan curhat satu dengan lainnya hingga kapal kami sudah siap untuk memulangkan kami dari pulau ini.

Sekitar jam dua belas kami sudah berada di atas kapal yang siap untuk menuju pelabuhan berbau amis itu. Terlihat dalam perjalanan semua orang kelelahan dan tertidur pulas. Termasuk gue. Dan akhirnya kami sampai lagi di tanah jawa dengan selamat dan pulang untuk kembali ke realita.


thank's Pulau Pari :D

Selasa, 10 Februari 2015

BAJO PULO, The Coral Paradise

(BAJO PULO, The Coral Paradise)

-November 2014-

Sape memang tak hentinya membuatku takjub. Setelah Lariti dengan keajaibannya yang membuat takjub, kali ini giliran Bajo Pulo yang membuatku jatuh hati.
Bajo Pulo adalah sebuah pulau kecil di seberang Sape yang dapat ditempuh dari Pelabuhan Sape kurang lebih 25 menit menggunakan perahu kecil. Untuk menuju kesana cukup mudah, karena memang banyak kapal di Pelabuhan Sape yang ditujukan untuk disewakan ke wisatawan yang akan menuju ke Bajo Pulo.
"Di Bima laut mana si yang paling bagus?"

Jawaban kebanyakan orang Bima pasti hanya ada tiga, Lariti, Bajo Pulo, dan Satonda yang akan kuceritakan di tulisanku selanjutnya.

Jadi tak heran memang kalau banyak yang menjadikan perahunya sebagai perahu antar jemput ke Bajo Pulo di akhir pekan.

Tak ingin melewatkan Bajo Pulo begitu saja, aku dan keempat kawanku memutuskan untuk berkemah semalam disini. 

Sekilas sebegitunya kami sampai memang tak ada yang spesial, hanya hamparan laut luas yang begitu jernih dengan pasir putihnya yang menawan. Namun itu belum semua, karena begitu senja datang keajaiban pun bermunculan.  Semburat jingga kemerahan khas langit bima menjadi pembuka semuanya.
(semburat jingga kemerahan matahari terbenam, ciri khas langit Bima)

Berawal dari penemuan tulang penyu di pantai ketika sore, di bawah temaram bulan purnama malam itu kami melakukan pencarian akan penyu, yang sayangnya tak kami temukan satu pun malam itu. Benar saja karena memang musim penyu bertelur adalah sekitar bulan Juli Agustus. Namun ini lah kemudian yang menjadikan kami menemukan kejaiban pertama di Bajo Pulo.

Kepiting Merah di Pulau Christmas, dari sekian fenomena alam pasti banyak yang mengetahuinya karena terjadi secara tahunan. Di Bajo Pulo kejadian serupa ternyata ada, namun bukan kepiting melainkan keong/kelomang. 

Ribuan keong malam itu keluar dan berjalan berdesakan menuju daratan. Tak jelas apa yang akan mereka lakukan, namun dari yang berukuran sebesar jari kuku hingga sebesar bola pimpong kami temukan malam itu di sepanjang garis pantai Bajo Pulo yang kami lewati. Kekecewaan karena tak menemukan penyu pun langsung terobati dengan adanya fenomena ini. (sayangnya kejadian ini tak sempat kami abadikan ke dalam foto)

---------------------------------------------------------------------

Matahari pagi itu menyapaku dengan anggunnya, menyadarkanku sepenuhnya dari kantuk yang menggelayuti mata. Laut surut begitu jauhnya hingga memunculkan dataran batuan koral dengan genangan air di sana sini seakan bertingkah selayaknya cermin yang memantulkan kehangatan sang surya.


(dataran koral yang muncul beserta genangan air, bak cermin yang memantulkan kehangatan surya)

Namun itu belum semua, karena semakin kami langkahkan kaki ke tengah dataran koral semakin kami terbelalak. Berbagai jenis terumbu karang dengan ragam warnanya yang biasanya hanya bisa kita lihat di bawah air, kini muncul ke atas daratan hingga bisa kita lihat dengan begitu jelasnya. Ikan-ikan kecil berenang kesana kemari terjebak dalam genangan air, bulu babi berbaris rapi siap mengancam langkah kaki, terumbu karang dengan beragam jenis, ukuran, hingga warna membentang begitu luas. Laksana simfoni yang mengayun begitu lembut, pagi itu membuaiku begitu dalam menuju kedamaian. 

 
 
 
 
(beraneka ragam keindahan dunia laut yang bermunculan)

Alam Indonesia memang begitu luas dan takkan hentinya membuatmu takjub. 

-INDONESIA ITU INDAH-

(pulau kecil lainnya di seberang Sape)



Oi Sai, Another Hidden Paradise in Bima

Pantai Oi Sai, yang terletak tak jauh dari Pantai Kolo merupakan pantai yang masih jarang dijamah. Karenanya merupakan spot yang sangat bagus untuk sekedar menghabiskan sore menukmati sunset.

Di Desa Oi Sai ini sebagian besar penduduknya menjadi nelayan untuk menghidupi keluarganya. Suasana kampung nelayan yang sangat sederhana ini menjadikannya lebih menarik lagi, karena tak hanya pantainya yang bersih, penduduk desa ini pun sangat ramah.

Pantai Oi Sai ini hanya berjarak kurang lebih 8 km dari Pantai Kolo. Dari Pantai Kolo kita hanya tinggal menyusuri jalanan aspal hingga ujung aspal habis dan berganti dengan tanah liat.

 
(beautiful sunset)

(after the sunset)

-INDONESIA ITU INDAH-

Jumat, 17 Oktober 2014

Semburat Jingga yang Menawan di Pelabuhan Bima (27 September 2014)









Tulisanku yang ini sebenarnya lanjutan dari tulisan sebelumnya (baca: Radu).

Sepulangnya dari Pantai Radu, jadwalku yang sebenarnya adalah futsal. Namun karena kakiku masih belum bisa digunakan untuk bermain bola, aku mencari kegiatan lain. Tak puas karena tak ada foto bagus terambil waktu di Radu, otakku berputar mencari objek pemandangan di kota yang sekiranya akan bagus ketika sunset. Pikiranku kemudian langsung tertuju ke Pelabuhan Bima, yang belum pernah ku datangi waktu itu. 

Pelabuhan Bima terletak di Desa Kolo, Kecamatan Asakota, Kota Bima. Aktivitas utama di pelabuhan ini adalah untuk angkutan barang. Namun ada juga kapal penumpang dari pelabuhan ini menuju Labuan Bajo. Jadi selain dari Sape yang memang lebih dekat ke Labuan Bajo, pelabuhan Bima juga dapat menjadi alternatif jalur penyeberangan menuju kesana, yang tentu akan membutuhkan waktu yang lebih lama.

Menurutku di sini merupakan spot hunting foto yang sangat bagus, selain banyak kapal-kapal besar, baik kapal barang maupun kapal penumpang, yang tentunya sangat bagus untuk modelling. Namun tak seperti di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, di sini kita bisa mendapatkan bonus tambahan yaitu view sunset dan after sunset yang sangat menawan. Warna langit dari jingga hingga ungu dapat kita lihat dengan mata telanjang disini. Subhanallah :)






Kamis, 09 Oktober 2014

Pantai Radu, Wera (27 September 2014)

(view Gunung Sangiang dari Tanjakan Radu, sensor kameraku kemasukan debu --")

  
Sudah lebih dari dua minggu tak sempat ku update blog ini, akibat kesibukan yang membuatku tak pernah sempat untuk menulis. Tapi bukan berarti aku tak sempat jalan-jalan, karena itu wajib hukumnya untuk menghindari stres berlebihan :D

Kali ini akan kuceritakan perjalananku bersama teman-teman kosku ke Pantai Radu, Wera, Bima.

Berawal dari informasi simpang siur yang kudapatkan dari teman kantor, ku ketahui kalau Wera mempunyai pantai-pantai yang indah, dan yang paling penting masih terjaga keasriannya. Maka tentu saja langsung ku ajak teman-teman kos untuk berlibur kesana pada akhir pekan, tepatnya hari Sabtu 27 September 2014.

Ini memang ideku untuk berlibur ke Pantai Radu, namun aku tak punya gambaran sama sekali bagaimana untuk bisa sampai kesana, teman-teman yang lain pun tak ada satu pun yang tahu dimana Pantai Radu itu, yang kutahu hanya Pantai Radu itu berada di Wera. Dari kami bertujuh ada dua yang sudah pernah ke Wera, Yaya dan Panji, hanya berbekal tahu jalan menuju Wera kami lanjut saja tanpa bertanya dimana itu Pantai Radu, sedikit nekat memang tapi justru itu yang membuatnya semakin menarik.

Pagi jam 9 WITA kami bertujuh sudah siap berangkat dengan bekal makanan seadanya, perjalanan diperkirakan tidak akan memakan waktu lama hanya dua jam saja dari Kota Bima. Menggunakan mobil kami menyusuri jalanan menuju Wera dengan santai, walau demikian baru sekitar 45 menit Adib sudah akan muntah saja karena memang jalanan yang dilalui berkelok-kelok. Namun demikian kelokan-kelokan jalan disini tidak sedahsyat jalanan menuju Sape (baca: Lariti).

Tidak banyak percabangan jalan yang kami temui dalam perjalanan, kami hanya mengikuti jalanan saja selama dua jam hingga akhirnya kita sampai juga di Pantai yang tidak tahu Pantai apa namanya. Beruntunglah di dekat situ ada sekolah dasar, langsung aku turun dari mobil untuk kemudian bertanya dimana Pantai Radu kepada guru SD yang kebetulan sedang mengajar pelajaran olahraga. Dan ternyata kami berhenti tepat di Desa Radu, maka tentu saja pantai itu Pantai Radu.

Pantai Radu ditandai dengan sebuah tanjakan tinggi yang terjal dari tanah berbatu dan berdebu, dari tanjakan ini kita dapat melihat Gunung Sangiang yang puncaknya selalu tertutup asap vulkanik. Kalau sudah melalui tanjakan ini, maka Pantai Radu hanya berjarak 300 meter lagi.
Dalam perjalanan menuju Radu, di jalanan dari tanah liat berdebu ada pertigaan ke arah utara menuju Oi Tui. Menurut informasi yang kudengar Pantai Oi Tui juga mempunyai keindahan tersendiri, sehingga sudah pasti akan kukunjungi juga nanti.

Sampai disana kami langsung makan bekal nasi yang kami beli sebelum berangkat, dan seselesainya kami langsung menikmati keindahan pantai dengan cara kami sendiri-sendiri. Aku dan Awal langsung foto-foto mengabadikan keindahan pantai Radu, yang sayangnya tidak ada satupun foto yang bagus. Saking teriknya matahari siang itu membuat tak ada satu pun awan yang berhasil keluar, namun tak cukup sampai situ, langit pun berwarna biru pucat menandakan betapa panasnya cuaca. Disini sunrise pasti sangat bagus karena letaknya yang langsung berbatasan dengan laut lepas dengan Gunung Sangiang sebagai pelengkap. Namun apa boleh buat kami sampai di sana begitu siang.

Tak puas dengan hasil foto yang kudapatkan aku langsung lanjut mandi di laut menyusul Satya, Imran, dan Panji yang sudah lebih dulu menceburkan dirinya. Pertama kupikir air laut di sini kotor, namun terus kuperhatikan air lautnya yang ternyata sangat jernih, pasir hitam di pantai ini yang menjadikannya terkesan kotor. Garis pantai yang lebar dan panjang menjadikan pantai ini enak digunakan untuk bermain-main. Hamparan pasir hitam dengan bebatuan karang pun menambah keindahannya. Dan di seberang Gunug Sangiang yang selalu mengepul menjadikannya semakin eksotis.

(anak pantai :D)

Kami puas-puaskan bermain air dan pasir, sedangkan Adib, Yaya, dan Awal bersantai saja di pinggir pantai. Jam 2 siang setelah semuanya puas bersenang-senang di pantai, kami kembali ke Bima.

(Gunung Sangiang di kejauhan yang tak berhenti mengepul)


Kru (dari kiri): Amin, Imran, Yaya, Satya, Awal, Panji, Adib

Jumat, 26 September 2014

Bromo + Madakaripura (25 Juni 2014)

Sebelum tugasku ke Bima, yang akan menjadi rumah sementaraku untuk dua tahun ke depan kusempatkan mengajak keluargaku untuk jalan-jalan berwisata ke icon wisata Jawa Timur, Gunung Bromo.

Tak banyak yang kuingat mengenai detil perjalanan itu, maka akan kuceritakan secara garis besarnya saja.

Untuk menuju ke Gunung Bromo ada dua jalur yang biasa digunakan, yaitu jalur Probolinggo dan jalur Pasuruan. Rute yang lebih biasa digunakan adalah jalur Probolinggo, yang karena aksesnya memang lebih mudah dijangkau. Jalur Pasuruan biasanya digunakan oleh traveler yang mulai perjalanan dari Malang.

Hanya dua jenis transportasi yang diperbolehkan untuk naik ke Bromo dari desa terakhir (Desa Sukopuro apabila dari Probolinggo dan Desa Nongko Jajar bila dari Pasuruan), yaitu Sepeda Motor dan Mobil Hardtop. Untuk sepeda motor masing-masing boleh membawa tanpa harus sewa, asalkan kondisinya kuat. Sedangkan untuk jenis transportasi satunya, mobil hardtop, kita harus menyewa dari para sopir di sana yang memang pekerjaan seharinya menyewakan mobil hardtop. Untuk paket lengkap wisata Bromo sewa mobil hardtop berkisar dari 350 ribu hingga 400 ribu. Paket lengkap wisata Bromo yang ditawarkan disini adalah Penanjakan, Kawah Bromo, Bukit Teletubbies, dan Pasir Berbisik. Sedangkan untuk paket Penanjakan dan Puncak Bromo saja, dikenakan tarif sebesar 200 ribu hingga 250 ribu.

Penanjakan
Penanjakan adalah spot pertama yang harus dikunjungi apabila kita berkunjung ke Bromo. Penanjakan adalah sebuah bukit yang sangat terkenal akan sunrise nya yang indah, tidak hanya di Indonesia bahkan dunia internasional pun telah mengakui keindahan sunrise dari Penanjakan ini. Akan banyak kita jumpai bule-bule sedang berburu sunrise lengkap dengan kameranya beserta lensa tabungnya.

Dari sini selain kita jumpai sunrise yang begitu indah, lautan awan juga begitu mendayu merayu. Gunung Bromo beserta kawan-kawannya pun terlihat kokoh menjulang dari sisi selatan Penanjakan.


Kawah Bromo
Dari Penanjakan, setelah puas menikmati indahnya sunrise kita akan diantar oleh sopir menuju kawah Bromo tetapi tidak sampai ke puncaknya melainkan hanya sampai di kaki gunungnya. Di kaki gunung ini banyak terdapat kuda-kuda yang disewakan untuk mengantarkan wisatawan untuk menuju Kawah Bromo dengan tarif 40 ribu, hanya sampai anak tangga. Namun bila ingin berjalan kaki menuju kawah juga bisa, hanya dengan berjalan selama 30 menit kita akan sampai di anak tangga.

Untuk sampai di kawah kita diharuskan untuk melalui anak tangga yang berjumlah 250. Cukup melelahkan namun semua akan terbayar ketika sampai di Kawah Bromo. Selain pemandangan kawah yang eksotis menyembulkan asap setiap saat, pasir berbukit-bukit di kejauhan juga dapat kita saksikan dari sini. Begitu indah.


Bukit Teletubbies
Entah apa maksud dari nama “Bukit Teletubbies” ini. Karena yang kusaksikan hanyalah gundukan bukit pasir serta bukit hijau biasa. Namun tak lantas tak ada yang isitimewa disini, banyak bunga-bunga entah apa itu namanya yang begitu indah dengan warna ungunya yang elok.


Pasir Berbisik
Nama “Pasir Berbisik” berawal dari sebuah film berjudul Pasir Berbisik yang disutradarai oleh Garin Nugroho. Namun memang disini akan terdengar lantunan musik alam yang diakibatkan oleh gesekan angin dengan bukit-bukit pasir.


Setelah puas menikmati wisata Bromo kami tak lantas langsung pulang, tak kan lengkap rasanya kalau berkunjung ke Bromo dan tidak menyempatkan berkunjung ke Air Terjun Madakaripura.

Madakaripura
Dari Bromo kita mengambil arah ke Pasuruan, akan banyak papan petunjuk jalan untuk menuju ke air terjun ini, yang karenanya menjadikan mudah ditemukan. Untuk masuk kesini kita diharuskan untuk membayar sebesar 5 ribu per orang. Dari pintu registrasi ini, untuk menuju ke air terjun kita diharuskan untuk berjalan selama kurang lebih setengah jam dengan medan yang lumayan licin.

Konon katanya, dulunya Air Terjun Madakaripura adalah tempat bersemedinya Gajah Mada dan karenanya dipercaya dapat memberikan kesembuhan atas segala penyakit. Takkan jarang kita temui banyak wisatawan yang khusus berkunjung demi mendapatkan kesembuhan.
 
 
 


Senin, 22 September 2014

PANTAI LARITI, SAPE (keajaiban Nabi Musa terulang kembali)


Minggu kali ini, 21 September 2014, aku kembali sempatkan jalan-jalan menikmati alam untuk melepaskan penat. Tujuan wisata kali ini adalah Pantai Lariti, Sape, yang masih berada di wilayah Kabupaten Bima. Sape berada di sebelah timur laut Kota Bima, dengan jarak sekitar 1,5 jam perjalanan darat menggunakan motor.

Kebetulan jumat kemarin aku mendapatkan tawaran untuk bergabung dalam touring Yamaha Vixion Club Indonesia - Chapter Bima (YVCI - CB), jadi sesuai jadwal, Minggu jam 13.00 kami berkumpul di Taman Kota, Kota Bima. Setelah berkenalan dengan para anggota YVCI -CB dan berdoa, kami memulai perjalanan. Rombongan kami berjumlah 12 orang dengan 2 single rider dan 5 berboncengan. Aku berada di barisan paling belakang rombongan karena memang jalanku yang paling pelan dibandingkan teman-teman yang memang sudah terbiasa touring jarak jauh.

15 menit kami sampai di Kumbe untuk kemudian bertemu dengan satu teman kami yang juga akan ikut dalam rombongan. Dari Kumbe menuju Wawo jalanan sudah mulai berkelok-kelok dahsyat. Banyak tikungan berbahaya yang harus dilalui dengan kesigapan ekstra. Di Wawo kami berhenti sebentar untuk kembali bertemu dengan satu teman yang juga akan ikut dalam perjalanan ini, jadi total kami berjumlah 14 orang dengan 3 cewek.

Perjalanan kemudian kami lanjutkan kembali, kali ini setelah Wawo menuju Sape jalanan menjadi jauh lebih berbahaya karena belokan jalan yang tak jarang lebih dari 180 derajat. Jalanan berkelok-kelok membuatku harus selalu waspada, namun telah begitu waspada terhitung 2 kali aku keluar jalur karena belokan yang terlampau tajam. Bahkan footstep NVL milikku 2 kali terbentur aspal jalanan akibat terlalu curamnya belokan.

Sekitar 1 jam kami melaju dengan kecepatan rata-rata 70 km / jam kami sampai di pertigaan Masjid Raya Samping Sape. Kami sempat salah jalan dengan mengambil jalur kiri menuju Wera, namun Bang Fani, teman sekantorku langsung menyusul ke depan rombongan dan mengingatkan pimpinan rombongan bahwa seharusnya kita kita belok ke kanan menuju arah Pelabuhan Sape. Bang Fani memang sudah pernah ke Pantai Lariti sebelumnya dalam acara kantorku yang tidak sempat kuikuti, jadi dia sudah hafal betul jalananmenuju ke sana, dan sejak pertigaan Masjid Raya Samping, Bang Fani menjadi pimpinan rombongan.

Dari pertigaan ini kita akan melewati Pasar Sape untuk kemudian menemukan perempatan besar, dari perempatan ini kita mengambil arah kanan untuk menuju Lariti. Ketika kita lurus kita akan menuju Pelabuhan Sape, di Pelabuhan Sape ini lah biasanya teman-teman yang akan menuju Labuan Bajo menyeberang dengan tarif 60 ribu per orang. Kapal penyeberangan menuju Labuan Bajo sehari ada dua kali yaitu jam 9 pagi dan jam 5 sore.

Di perempatan ini kami berhenti lumayan lama untuk membeli nasi bungkus dan minuman sebagai bekal kami di Lariti nantinya. Setelah perbekala dirasa cukup kami kembali melanjutkan perjalanan, sekitar setengah kilometer dari perempatan tadi kami berhenti, kukira ada masalah pada sepeda salah seorang teman, namun ternyata tidak . Dari jalanan utama tempat kita berhenti tadi ada sebuah jalan dari tanah berdebu dan berbatu di sebelah kiri, jalanan ini lah yang akan mengantarkan kita ke Pantai Lariti.

Jalanan berdebu berbatu tak jarang mebuatku harus sangat pelan karena takut selip. Namun di tengah kewaspadaanku sudah terlihat dari jauh Pantai Lariti yang eksotis dengan jalanan dari pasir yang membelah lautan untuk menuju ke pulaunya. Semakin tidak sabar aku untuk segera sampai ke sana.
(Pulau Lariti)
-------------------------------------------------- ------------------
Di Korea ada sebuah pulau bernama Jindo yang lautnya terbelah setiap dua tahun sekali dan muncul jalan dari pasir untuk menuju ke pulaunya, namun ini terjadi hanya selama 2 jam. Bagi dunia ini terkenal dengan sebutan Moses Miracle.
Tidak kalah dengan Pulau Jindo, di Pantai Lariti kita bisa menyaksikan keajaiban ini setiap hari sepanjang tahun dari siang sampai sore. Fenomena ini terjadi karena bertemunya dua arus yang mengakibatkan pasir menumpuk di tempat kedua arus bertemu. Ketika pagi Pulau Lariti merupakan sebuah pulau terpisah, namun mulai siang sekitar jam 2 sampai sore setelah matahari terbenam, jalanan dari pasir akan terbuka menuju kesana. Sungguh indah.
---------------------------------------------------------------------
Sesampainya di sana kami langsung melintasi jalanan berpasir tersebut dengan motor dan berhenti tepat di tengah untuk berfoto bersama. Setelah berfoto bersama kami kembali ke pantai untuk memarkir motor.
(Jalanan dari pasir yang membelah Lautan)

Setelah parkir motor, tak berhenti aku langsung berjalan menuju Pulau Lariti dengan tas masih di punggung. Sesampainya di Pulau Lariti kujelajahi semua yang ada di pulau itu, mulai dari sisi barat, utara, timur, sampai utara. Di sebelah timur Pulau Lariti kulihat sebuah pulau kecil yang terlihat lumayan dekat, dan aku langsung berniat untuk menuju kesana. Namun kuputuskan untuk sholat ashar dulu karena sudah jam 15.30 WITA.

Setelah sholat ashar, tas dan sepatu kutinggalkan di Pulau Lariti untuk kemudian menuju pulau kecil tadi. Awalnya kedalaman air hanya selutut, namun setelah semakin dekat dengan pulaunya semakin dalam sampai sepinggangku. Ingin rasanya aku menyeburkan diri namun mengingat kedalaman air yang tidak terlalu dalam dan aku tidak membawa baju ganti, akhirnya kuurungkan juga niatku untuk mandi.

Meskipun kecil namun pulau ini sangat indah dengan hiasan terumbu karang berwarna-warni di sekitarnya. Bintang laut seukuran telapak tanganku pun banyak kujumpai di sini, begitu indah. Dari sini pemandangan sekitar pun tak kalah indahnya, perbukitan di sebelah utara dan selatan pulau membuatnya begitu lengkap namun belum sempurna karena awan-awan cantik tak nampak akibat musim kemarau yang mencapai puncaknya di bulan ini.
(bintang laut langsung dikembalikan setelah difoto)
 
(Bintang Laut dan Terumbu karang di sekitar pulau kecil di seberang Pulau Lariti)

Kuhabiskan waktu disini sampai hampir magrib, aku bahkan berniat baru akan kembali setelah matahari tenggelam, namun karena rombongan sudah akan kembali ke Bima aku langsung kembali ke pantai. Namun sesampainya di pantai ternyata hanya tersisa Bang Fani yang menungguiku, sedangkan rombongan yang lain sudah kembali terlebih dahulu dan menunggu di Pelabuhan Sape.
(Suasana ketika Sunset dari Pulau Lariti)

Tak banyak cakap kami langsung memacu motor untuk menuju di Pelabuhan Sape. Memang tak sia-sia kami mampir ke pelabuhan Sape karena pemandangan di sini juga tak kalah indahnya, semburat jingga surya yang bersembunyi di balik perbukitan sungguh elok melengkapi hari Mingguku.
(Sunset dari Pelabuhan Sape)



Thanks to YVCI - CB