Hari ini Kamis 30 Januari 2014, hujan sedang rajin-rajinnya mengguyur ibukota. Layaknya adat istiadat yang telah turun temurun tak pernah ditinggalkan, hujan pun tak pernah menyiakan sehari pun untuk dilewatkan pada bulan ini. Dan bak pasangan kekasih yang tak pernah terpisah, hujan dan banjir nyaris selalu datang bersamaan. Di Jakarta di mana ada hujan pasti akan ada banjir, dan di mana ada banjir pasti ada masalah. Aaaah…, hujan memang menjadi masalah yang sampai sekarang belum dapat ditangani. Tapi cerita ini bukan tentang hujan.
**************
Carrier
70 liter tergeletak di
belakang meja kerjaku sejak tadi pagi. Penuh sesak terisi tenda, matras, sleeping bag, serta segala macam
perlengkapan yang nantinya akan kubutuhkan. Sore ini aku akan berangkat ke
Garut, dan sejak pagi telah begitu banyak yang bertanya padaku apakah benar aku
akan tetap mendaki. Ya, lagi-lagi akibat hujan. Pagi ini pun tak menjadi
pengecualian baginya, dia terus menderu penjuru Jakarta. Tak
jarang yang melarangku walau sedikit yang memberi semangat. Namun semangat dan
tekadku kukuh untuk tetap mendaki menerobos hujan, karena tentu izin dan doa orang
tuaku telah menyertaiku.
Jam dinding menunjukkan pukul 17.00, dan segera para pegawai pun
berkemas. Tapi berbeda dengan mereka, pukul 17.00 kali ini tidak menandakan
waktu pulang bagi kami melainkan waktu untuk repacking. Hall Direktorat Lelang menjadi tempat kami
berkumpul untuk membagi ulang bawaan. Sebenarnya kemarin malam kami telah
membagi semua bawaan dan telah rapi kami packing
ke dalam carier. Namun tadi pagi,
baru tadi pagi, satu kawan kami tumbang dan terpaksa tidak dapat melakukan
pendakian. Ya, lagi-lagi akibat hujan. Namun apa boleh
buat mendaki memang bukan kegiatan ringan, fisik yang prima mutlak diperlukan.
Sangat penting untuk tidak memaksakan kehendak ketika akan mendaki, karena
ceroboh sedikit saja bisa nyawa taruhannya. Dan akibatnya carrier kami yang telah sesak terisi pun
terpaksa harus menampung beban tambahan.
Selepas shalat maghrib yang kami jama’ qasar dengan shalat isya’, pukul
18.45 kami berangkat menuju Terminal Senen. Cukup lama kami menunggu di Senen
hingga lebih dari tiga puluh menit baru bus yang kami cari datang, bus nomor 17
jurusan Kota-Kampung Rambutan. Hampir dua jam perjalan kami menuju Kampung
Rambutan. Dan dari Kampung Rambutan kami langsung melanjutkan perjalanan menuju
Terminal Guntur, Garut menggunakan bus antar kota jurusan Garut via Tol
Cipularang. Di terminal ini lah nantinya semua akan bermula.
**************
Suara deru mesin mendadak berhenti. Tak lagi
kurasakan tubuhku terguncang-guncang akibat laju bus berkelok-kelok di jalanan.
Sesaat kurasakan suasana hening pagi, namun langsung berubah hiruk pikuk saat
semua penumpang berebut turun. Kulirik jam tangan, pukul 04.25. Hampir tujuh
jam bus kami menyusuri jalan dalam keremangan malam, namun hanya seperempat
dari perjalanan itu yang kuingat. Sisanya? Tentu kugunakan tidur demi
mempersiapkan fisik untuk pendakian esok.
Tersadar telah sampai di Terminal Guntur, Garut
mendadak semangatku terbakar. Tubuhku bergetar. Desir dingin mengalir di
kulitku pertanda adrenalinku telah benar terpacu. Pikiranku melayang terbang
jauh membubung tinggi penuh akan imajinasi. Sudah terbayang olehku sinar
mentari pertama menyembul dari balik bumi, awan-awan berarak-arak bak gelombang laut berlari menari, semilir udara pagi gunung yang begitu menyegarkan
berembus masuk melalui hidung memenuhi tubuhku dengan kedamaian yang tak akan
kurasakan di tempat manapun kecuali di gunung. Luar biasa memang bagaimana
gunung bisa menjadi candu bagiku. Sayup merdu suara adzan subuh akhirnya
menyadarkanku dari lamunan dan kami memutuskan untuk menunaikan shalat subuh di
masjid di seberang terminal.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Terminal Guntur, Garut merupakan titik tolak pertama pendakian tiga gunung, Gunung Papandayan, Gunung Guntur, dan gunung yang akan kami daki, Gunung Cikurai. Gunung Cikurai berbentuk nyaris seperti kerucut sempurna dengan ketinggian 2.818 MDPL. Gunung ini terdapat di perbatasan tiga kecamatan, Bayangbong, Cikajang, dan Dayeuh Manggung. Terdapat tiga jalur pendakian untuk menuju puncak Cikurai, jalur Cikajang, Bayangbong, dan Cilawu. Di antara ketiga jalur pendakian ini, jalur pendakian Cilawu merupakan yang paling populer digunakan karena walau memiliki waktu tempuh yang paling lama tingkat kesulitan medannya tergolong paling ringan dibandingkan kedua jalur lainnya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Persiapan pendakian kami kali ini tergolong
sangat mepet, hanya satu minggu. Dengan waktu yang serba mepet ini kami harus
memanfaatkan waktu se-efisien dan se-efektif mungkin. Selain harus
mempersiapkan semua perlengkapan, peralatan, maupun logistik, semua jalur
pendakian dan segala jenis medan yang akan kami lalui wajib kami pelajari. Dengan
berbagai pertimbangan, salah satunya tingkat kesulitan medan, akhirnya kami setuju
untuk menggunakan jalur Cilawu.
Selesai shalat subuh, tiga lembar roti dan
sebatang coklat menjadi sarapan kami. Dan sembari mengunyah roti kami melakukan
pengecekan terakhir. Setelah yakin tidak satu pun barang yang tertinggal, carrier langsung kami sandang di
punggung dan kami langsung mencari angkot 06 jurusan Cilawu. Dari pintu
terminal kami berjalan terus hingga kira-kira setelah 300 meter baru lah kami
berhenti menunggu angkot. Dari angkot ini kami akan berhenti di pos patrol,
pangkalan ojek. Kebanyakan supir angkot sudah paham akan berhenti dimana
apabila melihat penumpang mebawa carrier.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Satu saranku buat teman-teman sekalian yang berniat mendaki Cikurai, jangan tunggu angkot di depan pintu terminal Garut karena teman-teman bisa menjadi sasaran empuk bagi calo-calo terminal. Memang hal yang sudah umum apabila kita dapati calo di Terminal Guntur, karena nampaknya calo sudah menjadi pekerjaan tetap bagi sebagian orang di terminal ini. Berdasarkan obrolanku dengan supir angkot kudapati informasi bahwa untuk setiap kepala para calo ini menerapkan tarif palak lima ribu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Sekitar 45 menit angkot kami melaju di jalanan
berkelok yang terus menanjak menuju pangkalan ojek. Dari pangkalan ojek ini
kita akan dapat melihat kokohnya gunung Cikurai hingga ke puncaknya, namun
tidak pagi ini karena kabut begitu erat menyelimuti puncaknya. Pukul 06.15 kami
sampai di sana, dan dengan sigap tukang ojek langsung menyambut kami di depan
pintu angkot begitu kami turun. Mereka pun tak segan-segan langsung membawa carrier kami apabila aku tak langsung
berucap, “Kami mau jalan kaki aja pak.” Dari pangkalan ojek ini sebenarnya
kebanyakan pendaki Cikurai akan menggunakan jasa angkutan ojek sampai ke Pos
Pemancar, pos pendakian awal Cikurai, dengan tarif 35.000. Atau bisa juga
langsung carter angkot dari terminal langsung ke Pemancar
dengan tarif 35.000-45.000. Namun tidak begitu dengan kami, kami memutuskan untuk
berjalan kaki.
Mantab langkah kaki kami ayunkan melewati pintu
gerbang desa Cilawu dan jalanan aspal keras yang menanjak langsung menyambut
kami. Sepuluh menit kami berjalan dengan latar perkampungan dengan penduduk
yang begitu ramah senyum, kami berhenti sejenak karena teringat nasi padang
yang kami beli kemarin malam namun belum sempat tersentuh. Awalnya kami
berencana akan makan di atas bus namun ternyata bus yang kami naiki begitu
penuh hingga banyak yang terpaksa harus berdiri. Dan akibatnya, apalagi untuk
makan, bergerak sedikit saja kami kesusahan. Dan jadi lah nasi padang itu tak
tersentuh hingga kini. Kubuka bungkusnya dan kuciumi baunya, ternyata belum
basi. Nampaknya AC bus semalam yang
mencegahnya menjadi basi. Nasinya dingin menyentuh lidahku dan sayurnya pun
serasa membeku, namun kami sadari itu bisa jadi sumber tenaga hari ini. Dan
dengan lahap kami menghabiskannya.
Seusai makan kami langsung beranjak melanjutkan
perjalanan. Sekitar 20 menit perjalanan pertama kami lewatkan hanya dengan
pemandangan rumah penduduk di kiri maupun kanan. Lalu kami jumpai banyak
kolam-kolam pembibitan ikan, kebanyakan ikan nila kurasa, dan sawah-sawah
dengan petani-petaninya yang dengan tekunnya bertani dari pagi hari. Hingga
akhirnya kawasan penduduk pun berakhir dengan ditandai jalanan bercabang dua,
lurus untuk terus memasuki kawasan penduduk dan ke kanan menyusuri jalanan
berbatu untuk menuju Cikurai. Jalanan ini hanya selebar satu mobil, sehingga
mobil yang menuju atas dan kembali ke bawah secara bersamaan sering harus
saling menunggu.
Dari persimpangan itu pemandangan akan berubah
menjadi perkebunan teh di kiri dan kanan jalan. Dan sejauh mata memandang ke
depan terus terhampar pemandangan perkebunan teh bak lembaran permadani hijau
di atas gundukan-gundukan perbukitan, begitu menyejukkan mata. Udara sejuk pun
terus terembus menyegarkan raga. Begitu damai langkah kaki kami, tak terasa
jalanan menanjak berbatu di bawah sol sandal kami.
Kami terus melangkah hingga kira-kira tepat di
tengah perjalanan kami dapati sebuah pondok kayu berdinding bambu di tengah
pelataran tanah yang lumayan luas, ini lah pos registrasi pertama. Di sini kita
diwajibkan menuliskan nama anggota serta nomor telepon perwakilan kelompok yang
akan melakukan pendakian dan tentunya melakukan pembayaran registrasi yang
tergolong murah hanya 3.000 per kepala. Di pos ini kudapatkan informasi bahwa hingga
pagi ini telah ada kurang lebih 300 pendaki yang akan melakukan pendakian,
jumlah yang tentunya sangat banyak namun wajar mengingat ini adalah long weekend dan kebanyakan gunung lain
ditutup akibat cuaca ekstrim yang dapat membahayakan pendaki. Dari pos ini pula
kudapatkan informasi bahwa terdapat rute cepat menuju Pos Pemancar yang bisa
digunakan oleh pendaki yang berjalan kaki.
Dari Pos Registrasi ini menuju Pos Pemancar
masih sekitar satu jam lagi. Perkebunan teh terus terhampar di depanku, dan
ketika kudongakkan pandanganku ke atas, langit nampak begitu cerah biru dengan
selingan awan putih ceria. Bak dua permadani raksasa, hijau dan biru yang
bertemu di ujung yang belum terlihat, alam seakan begitu mendukung, sehingga semakin
menjadi semangatku. Langkah kaki pun kami percepat menyusuri jalan pintas yang
telah ditunjukkan kepada kami yang kali
ini berupa tanah liat tak berbatu. Kami terus berjalan dan hanya sesekali
berhenti untuk minum dan mengambil foto beberapa petani teh. Jalanan tanah liat
tak berbatu berakhir dan kami bertemu dengan jalan aspal keras yang rusak di
sana sini. Jalanan aspal ini lebih menanjak daripada trek tanah liat
sebelumnya, dan semakin menanjak lagi. Kabut pekat mulai turun namun Pos
Pemancar belum terlihat juga.
Kutajamkan pandanganku ke depan namun jarak
pandang begitu terbatas akibat kabut. Jalanan aspal ini mulai terasa berat bagi
kakiku. Namun sekonyong-konyong angin berembus mengusir kabut dari pandangan
dan terlihat di depanku hanya berjarak sekitar seratus meter berdiri tiang
pemancar sinyal. Ya ini lah asal muasal nama Pos Pemancar karena memang di situ
terdapat stasiun pemancar TV yang kini tak lagi digunakan. Begitu tahu Pemancar
sudah begitu dekat, berat di kakiku seakan langsung hilang dan langkahku
menjadi ringan kembali. Total kami memerlukan waktu sekitar dua setengah jam
dari Pangkalan Ojek hingga Pemancar.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Perlu diketahui bahwa dalam pendakian Cikurai akan sulit ditemui sumber air sehingga kebutuhan air harus sangat diperhatikan apalagi di musim kemarau. Salah satu sumber air yang dapat digunakan berada di tengah perjalanan Pos 2 menuju Pos 3, yang berasal dari bocoran pipa PDAM. Namun untuk lebih amannya lebih baik memenuhi kebutuhan air di Pos Pemancar, karena di sini air berlimpah.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumat 31 Januari 2014 pukul 09.15, setelah
melakukan registrasi ulang di pos relawan Pemancar, dimulailah pendakian kami. Pendakian langsung
diawali dengan medan tanah liat yang menanjak dan menjadi shock therapy bagi kami. Mewakili puncak Cikurai tanjakan itu seakan
berkata, “Aku tak akan mudah kau taklukkan.” Tanjakan pertama ini cukup
menghabiskan tenaga kami yang setelah melewati tanjakan pertama ini langsung
berhenti untuk mengeset ulang carrier agar
lebih nyaman lagi di badan.
Dari Pemancar perjalanan diawali dengan latar
perkebunan teh sebentar yang dilanjutkan dengan ladang
bawang, sawi, dan lobak nampaknya tak begitu jelas bagiku. Perladangan itu
serta merta berakhir dengan terlewatinya tanjakan. Hutan hijau dengan pohon-pohonnya
yang lebat menyambut kami ramah dengan nafasnya yang segar. Gemerisik daun-daun
hijau saling teradu diselingi sesekali oleh kicau merdu burung, ranting-ranting
mungilnya menggapai-gapai, kokoh batangnya tumbuh erat hanya terbelah oleh
jalanan tanah liat berbatu yang merupakan jalur pendakian kami. Begitu memasuki
hutan jalur pendakian menuju Pos 1 tidak lah securam tanjakan tadi, namun tak
landai juga.
Dari Pemancar menuju Pos 1 kami saling susul
menyusul dengan beberapa pendaki lainnya seakan beradu cepat. Namun kuputuskan
pendakian ini bukan lah ajang lomba cepat, mari kita nikmati perjalanannya. Setelah
sekitar sejam sampai juga kami di Pos 1, di sini kami beristirahat sebentar
untuk melepaskan dahaga dan mengisi tenaga dengan coklat cair serta batangan
gula jawa.
Seketika badan kami telah segar kembali langkah
kami ayunkan mantab menuju Pos 2. Pemandangan yang kita lalui masih tetap sama,
jalanan tanah liat berbatu berdindingkan pepohonan lebat namun masih tertembus
sinar matahari yang sesekali terhalang kabut. Medan pendakian juga masih sama
tidak begitu menanjak tapi tak landai juga. 45 menit kami tapaki jalanan itu
dengan mantab hingga sampai ke Pos 2 yang berupa bukaan tanah liat tak terlalu
lebar, hanya cukup untuk mendirikan dua buah tenda.
Kembali kami lanjutkan pendakian menuju Pos 3,
jalanan masih sama seperti dua pos sebelumnya namun cukup menyita waktu kami
hingga lebih dari satu jam. Sesampainya di Pos 3 kami membuka perbekalan,
kuputuskan untuk bersantap siang di pos ini karena merupakan titik tengah dari
pendakian. Tiga lembar roti coklat, sebotol susu, sebatang coklat dan gula jawa
cukup mengisi tenaga kami.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Secara keseluruhan terdapat tujuh pos dan satu pos bayangan untuk menuju ke puncak Cikurai dari Cilawu. Kebanyakan pendaki akan membuka tenda mulai dari Pos 6 hingga puncak. Terdapat pula bukaan tanah luas yang dapat menampung sekitar dua puluh tenda setelah kita melewati puncak. Menurut rencana kami akan mendirikan tenda setelah melewati Pos 7 sebelum pos bayangan karena kami rasa itu kawasan yang paling tepat, tidak jauh dari puncak namun tak berangin kencang karena pepohonan masih tumbuh lebat. Tidak disarankan untuk mendirikan tenda di pos bayangan karena berdasarkan pengalaman pendaki-pendaki lain aura mistis selalu menyelimuti kawasan itu, tak jarang suara-suara tak bertuan serta bayangan makhluk tak kasat mata mengganggu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Kabut mulai erat menyelimuti jalur pendakian
kami, jarak pandang menjadi begitu terbatas. Trek berubah menjadi jalanan tanah
liat tak berbatu disertai akar-akar pepohonan yang menembus tanah seakan ingin menjebak
kita dengan menawarkan pijakan licin bagi kaki. Namun tak semua akar-akar itu
menyimpan tujuan buruk, di kanan kiri kita jumpai akar-akar budiman yang
menawarkan bantuan berupa pegangan bagi tangan yang nantinya akan terbukti
sangat berguna. Batang-batang pohon di kiri kanan seakan tak mau kalah
menawarkan bantuan dengan menjadi tembok yang melindungi kami dari jurang. Menuju
Pos 4 perjalanan terasa mulai berat karena selain medan yang licin kemiringan
medan di sana sini juga mulai menjadi ekstrim. Hampir satu jam kami melanjutkan
pendakian hingga sampai di Pos 4 pukul 13.50.
Rintik kecil hujan mulai turun di tengah kabut
pekat, namun pepohonan lebat masih dapat menghalanginya. Angin pun turut membantu dengan mengembuskan jauh
rintik hujan. Jalanan dengan kemiringan ekstrim makin sering mewarnai jalan kami
yang semakin memberatkan kaki. Kupejamkan mata sejenak, kubiarkan nafas segar
gunung menerpa tubuhku masuk ke dalam paru-paru. Masih terlihat dalam benakku
awan-awan menggapaiku di puncak nanti, seketika kubuka kembali mataku dengan
semangat yang semakin menjadi-jadi, hilang pergi semua letih di kaki, tak ingin
dikalahkan oleh beratnya medan ini.
Lima belas menit waktu bagi kami menaklukkan
jalanan Pos 4 menuju Pos 5, relatif singkat namun berat. Singkat kami berhenti
di pos ini hanya sekedar untuk membasuh keringnya kerongkongan. Seakan tak mau
dikalahkan jalanan semakin berat dengan kemiringan konstan menantang. Semakin
berat langkah kami apalagi rintik hujan sudah mulai menembus lebatnya dedaunan
yang selama ini memayungi. Tapi kami belum memutuskan untuk mengenakan jas
hujan karena diyakini ini hanyalah hujan yang bergerak terembus angin dari
puncak, sayong. Akar-akar yang
menyembul menembus bumi terbukti menjadi bantuan bagi kami mulai dari sini.
Berkali-kali kami harus menggapai erat menjadikannya pegangan agar dapat
melewati setiap tanjakan.
Pukul 15.20 kami tiba di Pos 6, kudapati banyak
tenda-tenda didirikan di sini. Rintik hujan mungil berubah menjadi gerimis
deras, menghujam keras seakan tak lagi memberikan bonus. Jas hujan langsung
kami kenakan karena ini bukan lah sayong.
Satu jam kami terus dihujam hujan, dingin beku menembus jas hujan tipis,
memberatkan setiap ayunan langkah. Jalanan pun tak mau kalah, ia semakin
menjadi, memberikan kemiringan yang tak lagi main-main. Aliran air hujan
berubah menjadi sungai dingin di bawah kaki, melengkapkan cobaan. Fisik kami
mulai drop, nafas mulai
tersengal-sengal, kaki makin sering bergetar, hingga tinggal semangat yang
menjadi tenaga. Terus kami tantang alam hingga tiba di Pos 7 kami benar telah
capai namun tak kulihat ada bukaan tanah yang bisa kujadikan tempat bermalam.
Lama kami beristirahat di sini, mengumpulkan
sisa-sisa tenaga. Hingga pukul 16.00 baru tubuh kami mau berkompromi. Sekitar
lima belas menit kemudian Tuhan memberikan kemudahan, menyediakan bukaan tanah
liat yang dapat kami gunakan untuk mendirikan tenda. Namun tak serta merta
menjadikan kami setuju untuk membuka tenda di situ karena air menjadikan tempat
itu jalurnya. Namun kami akhirnya
sepakat untuk tetap mendirikan tenda di situ mengingat kondisi fisik yang benar
sudah drop.
Tenda beserta tiang-tiang besinya kami
keluarkan dari tas, flysheet serta tali rafia juga tak lupa. Jalur air tadi coba kami atasi dengan
membuat parit kecil sehingga air tak langsung mengalir ke tenda kami nanti. Selesai
membuat parit kecil dengan kayu, kami langsung meraih tenda dan tanpa jeda
langsung kami dirikan. Meski tangan serta badan kami bergetar hebat tenda harus
berdiri, flysheet pun wajib terpasang
mengingat hujan deras dapat menembus. Tenda serta flysheet kami ikatkan ke dahan-dahan pohon agar tak terbang diterpa
angin. Hingga akhirnya pukul 17.00 berdiri juga tenda kami, gubuk kecil yang
akan menjadi istana kami malam ini.
Hujan sore itu, ya lagi-lagi hujan, memupuskan
harapanku untuk mengantarkan matahari ke dalam persembunyian malamnya. Namun
kuyakin esok kan cerah, kan kusambut sinar pertama matahari dan kan kugapai
awan-awannya.
Malamnya setelah makan malam mi rebus dengan
tambahan sosis, disertai sereal hangat, serta sebatang coklat kami tertidur
pulas walau dingin terus menembus tenda serta sleeping bag kami.
**************
Ku ayunkan langkahku sambil berlari, tak
kuhiraukan medan yang begitu miring, ku tetap berlari. Pandanganku tertuju ke
atas ke awan-awan putih bersih yang mulai berkumpul. Matahari belum muncul
namun sebagian kecil sinarnya telah mampu menembus melukiskan semburat jingga
di langit pagi itu.
Sabtu 1 Februari 2014 pukul 05.30, kami sampai
di puncak Cikurai.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
semburat jingga matahari menyambut, awan menggapai-gapai lembut
berderak berarak bergelombang berpendar perak
bemandikan cahaya pertama surya, bak pelita hatiku gempita
hangat tubuhku, damai jiwaku, pandangku luas menangkap lukismu,
tanganku mengayun menggapai awanmu, Cikurai
selimut dingin semalaman sirna sekejap, tersisa sinar pancaran mata terpendar takjub
tubuh tak lagi letih, kaki tak lagi kaku beku
cobaan yang dari kemarin mendera, seakan lama terlupa
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Di puncak Cikurai akan kita dapati sebuah
bangunan yang dapat menampung sebuah tenda, spot
ini menjadi tempat yang paling diincar oleh para pendaki karena selain
menawarkan pemandangan yang begitu indah angin kencang yang sering berembus
kencang di puncak tak lagi menjadi ancaman karena terhalang oleh dinding
bangunan.
Cikurai merupakan gunung yang sudah tidak aktif
sehingga tak akan kita temui kawah di puncaknya. Sekilas puncaknya tertutup
hamparan rumput hijau dengan pepohonan hijau lebat di lereng-lerengnya. Apabila
kita menyusuri bagian barat puncak Cikurai akan kita dapati bunga edelweiss yang tumbuh jarang di lereng namun
tetap mempesona. Selain itu dari puncak kita juga bisa menyaksikan pemandangan
gunung-gunung lain di sekitar Cikurai seperti Papandayan. Suasana damai yang
kami dapati di puncak itu lah yang menjadikan gunung begitu memikat.
Merah putih tak lupa kami kibarkan di
puncaknya, dan seakan mendukung angin pun berembus kencang menerpa sang merah
putih. Sunrise yang menyembul di
balik perbukitan, awan-awan yang bergelombang menari, gunung gemunung di batas
horizon, semua tak lupa kami abadikan ke dalam foto.
Pukul 08.00 setelah berpuas-puas di puncak kami
memutuskan untuk kembali ke tenda, sarapan. Menu pagi itu kembali sereal
hangat, mie rebus disertai sosis, dan secuil nasi yang ditawarkan oleh tetangga
tenda sebelah. Sarapan pagi itu begitu nikmat karena semua perjuangan kami
kemarin telah berbuah hasil.
Pukul 10.30 setelah berkemas membereskan tenda
dan semua perlengkapan, tak lupa sampah kami pack rapi, kami pun turun dari Cikurai. Perjalanan turun ini
memerlukan waktu hanya setengah dari perjalanan pendakian kemarin. Namun tak
lantas menjadikannya mudah, hujan kemarin sore menjadikan trek begitu licin
hingga kita harus ekstra hati-hati. Untuk menyingkat waktu dari pos 4 hingga
pos 1 kami berlari turun. Tak banyak yang terjadi selama perjalanan turun kami,
hanya beberapa kali terpeleset. Dan pukul 14.00 kami sudah sampai di Pos
Pemancar, di sini kami melapor kembali untuk memastikan bahwa semua anggota
telah kembali dengan selamat. Cukup lama kami beristirahat di Pemancar hingga
hampir jam 15.00 baru lah kami turun kembali menuju pangkalan ojek, dan kembali
kami berjalan kaki.
Tanpa menunggu jeda dari pangkalan ojek kami
langsung menuju Terminal Guntur, lalu melakukan pembersihan di masjid seberang
terminal. Karena perut mulai terasa lapar kami memutuskan untuk mencari makan
malam di sekitar terminal sebelum pulang. Pukul 20.00 bus kami sudah melaju
menyusuri jalanan malam mengantarkan kami kembali ke kehidupan nyata Jakarta.
Kru: Amin Rasyidi, Githa Adi, Charisma Nur
Teks: Amin Rasyidi
Foto: Githa Adi
gatheli kowe su wis duwe blog dhewe, berkembang kowe su
BalasHapusayo su munggah gunung, tambora ws cedak mbek kantorku :D
BalasHapusfutsal ae suu
Hapus